Beritanelayan.com- Cerita perempuan nelayan selalu menarik untuk disimak. Pasalnya, banyak hal-hal yang tak terduga yang dialami oleh perempuan nelayan. Dinamika kehidupan di pesisir jelas sangat berbeda dengan kehidupan di daratan.
Bahkan, orang sering kali menyebut kehidupan di pesisir itu keras. Sebab, di pesisir sering kali terjadi kekerasan: seksual, rumah tangga, dan keluarga. Gaya bahasa pun masyarakat pesisir dianggap berbeda dengan masyarakat darat.
Beberapa ahli Sosiologi dan Bahasa menyebut gaya komunikasi masyarakat pesisir tergolong kasar. Di pesisir, khususnya di Jawa misalnya, hierarki bahasa Jawa yang memiliki tingkatan sering kali diabaikan.
Sebuah artikel ilmiah yang diterbitkan di Jurnal Inject, menyebut cara komunikasi masyarakat pesisir biasanya menyesuaikan gaya bahasa yang digunakan komunikator. Itu pun hanya berlaku kepada seorang pendatang.
Dalam komunitas sendiri bahasa Jawa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari biasanya menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Hanya sedikit yang masih menggunakan bahasa Jawa Krama untuk komunikasi dengan orang yang lebih tua.
Kehidupan keras di Pesisir, Perempuan Jadi Korban
Dengan kerangka kebudayaan yang demikian itu, “kebudayaan kasar”, itulah yang menyebabkan kehidupan di pesisir menjadi lebih keras dibanding daratan. Sebuah kebudayaan yang telah menyatu dalam ekspresi kehidupan sehari-hari itu memunculkan kehidupan keras yang dianggap normal.
Diceritakan kepada penulis, belum lama ini, dulu sebelum perempuan nelayan Morodemak mendapat program pemberdayaan, mereka sering kali jadi korban kekerasan laki-laki.
Kekerasan itu terjadi biasanya di ranah rumah tangga. Sebagian besar kekerasan itu adalah kekerasan suami terhadap istri. Persoalannya, kadang-kadang hanya persoalan sepele saja.
Sebagai contoh misalnya, kekerasan yang dialami Hidayah (45). Ia dipukuli suami (kini mantan suami) karena tetap ingin menyekolahkan anak perempuannya hingga perguruan tinggi.
Hidayah dipukuli hingga hidungnya berdarah, mukanya lebam, matanya bengkak, hingga harus segera ditangani di puskesmas. kekerasan seperti itu tidak hanya dialami oleh Hidayah. Data lengkapnya bisa diakses di banyak tulisan ilmiah, populer, maupun berita.
Kekerasan kepada Perempuan Nelayan Lebih Masif ketika Musim Paceklik
Kekerasan lebih masif biasanya terjadi ketika musim paceklik. Pada musim ini banyak lelaki yang menganggur, yang menggantungkan hidupnya justru pada perempuan. Jarang sekali nelayan yang memiliki uang tabungan untuk menghadapi musim paceklik.
Sehingga ketika musim paceklik datang, banyak perempuan yang “dikorbankan”. Laki-laki menganggur, sedangkan perempuan harus pontang-panting mencari hutangan. kadang-kadang menjual barang-barang yang dimiliki. Lalu, sebagiannya lagi hutang kepada rentenir.
Kondisi yang rumit itu juga sering kali memicu kekerasan. Biasanya dimotivasi oleh kebutuhan pribadi suami yang tidak terpenuhi, misalnya rokok. Kondisi yang demikian itu terus terjadi hingga bertahun-tahun.
Agak berkurang ketika perempuan mulai mendapat program pemberdayaan, sehingga bisa menghasilkan uang sendiri dan membantu perekonomian keluarga.
Leave a comment